Selasa, Januari 04, 2011

JOGJA ISTIMEWA

Saya sam sekali tidak akan membicarakan sejarah mapun politik di Yogya mapun di negara ini yang sedang terjadi. Gonjang ganjing soal keistimewaan Yogya saya tidak tahu menahu soal itu meskipun saya orang Yogya, ada banyak orang lebih kompeten di sana, para budayawan dan sejarawan itu. Semoga mereka tidak diboncengi oleh parpol seperti aksi masyarakat Yogya 13 Desember 2010 silam.



Hari itu saya turut mencemplungkan diri dalam hingar bingar orang-orang yang mengaku menuntut bertahannya status istimewanya Yogyakarta itu. Bagaimana saya merasa sangat muak di dalamnya. Di negara demokrasi ini kihidupan demokratis cuma cerita sedangkan survival the fiitest menjadi nyata. Siapa yang memegang kekuatan dia yang berkuasa.

Hari itu sedang ada sidang paripurna DPRD dan masyarakat Yogya yang kabarnya berjumlam puluhan ribu melakukan aksi di depan gedung tersebut disertai orasi dengan sound sistem entah berapa mega watt.

Setelah hasilnya keluar ada 1 fraksi yang belum menyetujui tuntutan. Maka di atas panggung itu terjadi penghinaan terhadap fraksi tersebut, dipimpin oleh seorang orator ulung dan dikawal oleh satuan tugas suatu partai politik. Hal yang membuat saya benar-benar muak adalah bagaimana cara-cara yang tidak etis dan demokratis menjadi digunakan oleh para elit bahkan menggerakkan rakyatnya yang puluhan ribu itu.

Mengapa perbedaan menjadi alat untuk menjegal pihak lain. Di negri permai ini kekerasaan seolah menjadi cara untuk mewujudkan tuntutan.

Kemudian apa yang terjadi dengan bangsa yang menjadi semakin akrab dengan kekerasan? Saya tidak tahu, saya tidak sekapasitas psikolog, budayawan, ataupun sosiolog, tapi saya kira tidak akan baik jadinya. Saya hanya orang yang pada tataran teoritik menyukai kedamaian dan jika ingin memacu adranalin pun memilih yang tak merugikan orang lain, namun saya pun tak tahu apa jadinya saya juga orang lain jika tiap hari dicekoki dengan cerita-cerita kekrasan dan dipaksa menghadapi peristiwa-peristiwa kekerasan meskipun hanya secara bahasa tubuh, bahasa verbal, hingga fisik, dan yang paling sering tidak nampak adalah kekerasa secara emosional.
Saya pribadi sangat mengharapakan Yogyakarta mempertahan demokrasi dengan cara-cara yang demokratis bukan saja dalam ranah teoritik. Di kota kecil ini banyak sekali akademisi yang mengasah nalar dan intelektualis karena selesaikan masalah ini dengan cara-cara yang intelek. Saya bukan bermaksud mengatakan bahwa cara-cara yang digunakan kemarin adalah tidak intelek tetapi saya hanya ingin mengtakan bahwa kekerasan bukanlah pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar