Kamis, September 20, 2012

Baru, Tamat

Katanya segala hal berubah, tiap orang juga. Terhadap perubahan-perubahan itu kadang kita tak menyukainya tapi seringkali kita tak bisa kembali karena kita sendiri pun telah berubah. Dalam perubahan itu sekaligus kita masih orang yang sama, anak orang yang sama. Karena jika seseorang berubah tanpa sisa untuk dikenali, kemungkinan dia bukanlah lagi dia yang sebelumnya tapi dia yang lain, dan aku tak tahu apa orang seperti itu pernah ada.

Diantara persamaan dan perubahan itu manusia membangun diri terus menerus. Suatu hari kita melihat sesuatu dengan perasaan murung segalanya tampak berantakan, lalu di waktu yang lain sesuatu yang sama baik-baik saja kita menjadi begitu toleran, sedangkan di waktu yang lainnya lagi semuanya tampak seolah baru pertama melihat dan atau mengalaminya. Suatu hal yang sama bisa dilihat dengan perasaan dan pemahaman berbeda di berbagai waktu.

Lalu apa yang berubah di keluarga. Seumur hidup aku menjadi anggotanya tak pernah merasa sebaik sekarang. Apa yang membuatnya berbeda. Bapakku masih cerewet seperti dulu, Ibuku masih tidak fokus dan menyebalkan seperti biasanya, mas ku masih dan selalu sibuk dengan hidupnya sendiri, aku pun masih tidur sembarang waktu dan susah bangun pagi, dan rumah masih saja berantakan dan berdebu. Entah mengapa kutemukan begitulah adanya dan tak lagi mengganggu.

Maksudku bukan karena menjadi terbiasa, tapi sedikit pergeseran sudut panjang saja. Apa yang hadir dalam pikiranku itu kemudian membuatku merasa seperti baru berada di tengah mereka. Ya, mereka yang telah menyertaiku selama hidupku, tapi aku merasakan kebaruan. Ada semacam perasaan yang berubah, bahkan berakhir. Entah bagaimana menjelaskannya. Mereka semua bukan sekedar tempat bersandar saat lelah, dan pulang saat kesepian, tapi semacam akar yang memaksamu melongok ke sana tiap kali aku terlalu ambisius meraih langit. Hal itu memang seringkali mengganggu, tapi itu membuatmu tahu darimana engkau berasal.

Ada yang baru ada yang tamat, ada yang tak bisa diperbarui ada yang tak bisa ditamatkan. Jika ada pertanyaan kenapa tidak terima saja hal-hal macam itu maka hidup akan lebih mudah.Itu sama saja dengan memberi tugas untuk menyembuhkan semua orang gila dan mencegah orang-orang yang belum gila supaya tidak gila, karena, konon, kegilaan disebabkan tidak terima apa-apa yang sudah ada dan sudah terjadi, juga karena terlalu ngotot dengan sudut pandangnya.

Kukira itu cara terbaik supaya tidak gila adalah belajar lagi. Belajar. Belajar. Belajar. Mungkin pelajaran selanjutnya nanti adalah memperparah kegilaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar