Minggu, November 13, 2011

Kita = Bangsa Pengemis?

Yang tua menggunakan ketuaannya
yang anak-anak menggunakan wajah ketidakberdosaannya
yang pajabat menggunakan kekuasaanya
yang cantik menggunakan kemolekannya
dan yang lain menggunakan kekerasaanya

tolong gunakan kualitas saja!!!

Sering melihat peminta-minta yang bentuknya anak-anak, remaja, orang tua, bahkan dewasa dan orang masa produktif? Ironisnya adalah mereka tidak malu meminta di sisi seorang nenek renta yang menjual koran sore hari saat mendung dan mulai gerimis. Atau pengamen yang berjalan dari toko ke toko beriringan dengan dengan seorang kakek yang berpeluh mendorong gerobak penuh berisi LPJ 3 kiloan.

Ada seorang legend di kampus yang disebut mBah Salak. Salah satu contoh yang menggunkan ketuaannya untuk menjajakan dagangannya. Sering dia bicara dalam bahasa Jawa yang kira-kira artinya, "Beli salaknya, saya sudah tua. Ini tangan lecet-lecet kena duri waktu metik. Kemarin saya jatuh kepleset." Ia merayu customernya dengan menunjukkan kerentaannya.

MBah salak bukanlah satu-satunya. Masih di dekat kampus lokasinya, seorang nenek menjual jambu air satu platik 1 kiloan seharga 5 ribu yang biasanya bisa didapat dengan harga 1 ribu rupiah di pasar. Metode pandekatannya tidak jauh berbeda dengan mBah Salak mengedepankan ketuaanya untuk membuat si pembeli iba. Saya sendiri  juga pernah mengalami seorang nenek menjual jamu dengan harga Rp. 2500 per gelas, padahal biasanya hanya 1000. Ini perampokan di depan mata.

SPG-SPG nan rupawan menggunakan kemolekannya untuk menawarkan produknya. Sedangkan yang punya jabatan menggunakan pengaruh kekuasaanya untuk melancarkan mesin uangnya. Sedangkan anak-anak menggunakan wajah naifnya untuk mengeruk rupiah.

Bahkan ada masyarakat yang merusak suatu kantor lembaga yang mengaudit dana bantuan asing karena menemukan bahwa dana tersebut dikorupsi sehingga dana bantuan selanjutnya terancam dihentikan. Jadi masyarakat tetap rela bantuannya terpotong korupsi daripada tidak dapat sama sekali.

Apakah itu sah? Selama tidak menipu dan memaksakan  sebenarnya sah-sah saja, pintar-pintar masyarakat saja menilai apakah profesi itu layak bagi mereka atau tidak, apakah mereka pantas diberi, ataukah memberi menjadi cara mendidik yang sama sekali tidak baik karena memberi menjadi penguat sifat malas dan menggampangkan. Apakah keadaan ini baru kali itu terjadi atau sejak dulu sudah demikian, saya saja yang tidak gaul?

Meskipun cara mereka sah-sah saja tapi pointya bukan berhenti di situ. Jika begitu banyak orang di negeri ini yang menggunakan atibut fisik, usia dan kekuasaan untuk mengais rejeki kita patut bertanya ada apa dengan bangsa ini. Ada dengan pendidikannya, gagalkah mendidik manusia? Apa pula hasilnya dengan mental masyarakat? Kemana gotong royongnya, kemana kepeduliannya sosial yang selalu digembar-gemborkan sebagai kelebihan bangsa ini?

Gotong-royong bukan sekedar membangun rumah bersama, membersihkan jalan ramai-ramai di hari minggu, tapi juga bersama-sama saling mendidik masyarakat. Bukan sekedar menyerahkan anak kepada sekolah seperti yang sering terjadi. Kecuali memang masyarakat juga pemerintah tidak pernah benar-benar berpikir bagaimana menghentikan jumlah peminta-peminta, atau memang mental bangsa ini dibentuk untuk menjadi peminta-minta, memang sengaja dibentuk untuk menjadi bangsa yang rendah diri? Entahlah saya juga masih minta kepada orangtua, namun setidaknya mari sejenak bertanya, apakah rupiah yang kita berikan akan membatu mereka, ataukah malah akan membantu merusak bangsa ini sedikit demi sedikit sehingga kita tak lagi sadar bahwa kita punya andil di sana.

Jika masih percaya bangsa ini punya kualitas, bahwa bangsa ini bukanlah bangsa pengemis, mari mulai dari diri sendiri. Sedikit saja berpikir lebih dalam sebelum kita memberikan sumbangan apakah kita memberikan sumbangan pada orang yang tepat ataukah kita hanya ingin mencuci dosa kita dengan sumbangan tersebut, ataukah hanya suatu ketidakpedulian bahwa harta ku urusanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar