Minggu, Desember 11, 2011

Antara Indonesia dan Galau

abibunda-indonesia.blogspot.com
rezamuzay.blogspot.com
Galau. Apa yang kepikiran waktu denger kata itu? Kemungkinan adalah pikiran, perasaan, keadaan yang kacau. Kebayang ga? Misalnya ada yang ngetweet, "Pacarkau koq ga ada kabarnya toh?" trus ada yang bales "Galau yah?" padahal kan bisa juga pakai kata cemas.

Ketika memasukkan kata galau kemudian cari di google maka banyak cerita dan penjelasannya yang muncul. Jejaring sosial pun dipenuhi dengan kata galau. Apakah makna dan fungsi spesifik dari kata galau, sepertinya ada peluasan makna. Banyak keadaan yang diungkapkan hanya dengan kata galau padahal masih ada ungkapan yang lebih tepat. Itu berarti juga banyak ungkapan lain yang tidak digunakan karena fungsinya telah diambil alih oleh kata galau.

Kalau dipikir ini pelajaran bahasa Indonesia? Iya, tapi bukan itu intinya. Bahasa itu budaya, tapi juga bisa seperti trend fashion. Kata-kata timbul tenggelam dan berubah makna dengan berbagai konotasi. Tapi jika satu kata digunakan untuk menggambarkan keadaan yang luas dan umum yang sebenarnya punya istilah sendiri-sendiri yang lebih spesifik. Itu penyempitan bahasa kan. Apa kita harus mengikuti trend secara mentah-mentah?

Misalnya seseorang yang hubungannya sedang banyak masalah diambang kehancuran,  mungkin kata yang lebih tepat adalah runyam, yang artinya gagal, tidak berhasil (jadi), kalut.

Perasaan orang yang menunggu lamarannya diterima atau ditolak, bisa menggunakan kata resah.
Seseorang yang ditinggalkan orang yang dikasihi mungkin bisa menggunakan kata kalut.

Seseorang yang tidak tau menentukan pilihan, bisa menggunakan kata bimbang.

Orang merasa pikirannya penuh, sehingga sepertinya butuh sekali bercerita bisa menggunakan kata sumpek.

Kata pilu bisa juga digunakan manakala sangat sedih.

Sedangkan galau menggambarkan pikiran yang tidak karuan, misalnya saat mencintai seseorang tapi seseorang itu kurang baik buat dia. Selain itu masih ada kata sedih, risau, kacau, gundah, duka, pahit, dan lain-lain. 

Bahasa merupakan cermin suatu bangsa. Kalau punya banyak kosa kata mengapa mesti memakai satu kata yang sama berulang-ulang. Penggunaaan kata yang monoton bisa jadi menggambarkan keadaan bangsa yang malas berpikir, mudah digerakkan oleh trend.

Bahasa itu milik semua penggunanya, bukan hanya urusan para 'polisi' bahasa. Jadi tidak ada alasan bahwa hanya pengarang dan ahli bahasa yang mesti menggunakan ungkapan yang bervariasi. Jika tingkat kepedulian masyarakat terhadap ragam bahasa rendah maka seperti itu pula kepeduliannya terhadap budayanya sekarang, mesti digerakkan dulu oleh trend dan provokasi barulah merubah sikap, tapi sikap intinya tetap tidak berubah yaitu ikut-ikutan trend.

Budaya yang dimaksud tentu saja bukan hanya sejenis upacara adat, benda-benda bersejarah, atau semacamnya, namun lebih pada seluruh hasil budi dan daya masyarakatnya. Jika masyarakat pada masa sekarang dalam hal bahasa hanya menghasilkan kata galau dan sesuatu maka segitulah hasil budi dan daya masyarakat itu. Jika jaman dulu nenek moyang kita menghasilkan banyak hal daripada kita sekarang berarti nenek moyang kita lebih banyak mikir dan bertindak sedangkan kita (mungkin) lebih banyak menuntut.

Bahasa yang dipakai menggambarkan pikiran penggunanya, masyarakat yang gampang galau dan tak bisa memberi penjelasan selain mengatakan ada sesuatu.

Apakah galau demikian membanggakan sehingga selalu dianggap sebagai sesuatu (something) padahal itu bisa saja nothing? Bagaimana jadinya bangsa ini jika kegemaran masyarakatnya adalh galau masal.

*Catatan galau tentang bahasa Bangsa yang bikin galau.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar