Rabu, Mei 16, 2012

Culture Understanding Reconstruction at Ullen Sentalu Museum



Tiba di museum Ullen Sentalu. Udara sejuk dan langit yang cerah, ditemani merapi selama perjalanan. Meski merapi bisa ganas tapi dia tetap selalu menggoda untuk dilihat dan diketahui, kami pun masih menyimpan impian untuk bisa mendaki hingga puncak, mendekatinya dan bersahabat saat ia sedang tenang.

Setelah beberapa kali salah jalan dan bertanya orang akhirnya ketemu juga lokasi museum Ullen Sentalu.

Terawat. Itulah kesan yang pertama muncul saat berada di depan museum itu. Hijau dan sejuk. Pohon tertata rapi dan bersih. Akar pohon semacam beringin berjuluran di depan pintu masuk.

Setelah mendapatkan tiket seharga Rp. 25.000 per orang. Pengunjung yang dibentuk dalam kelompok berkeliling ditemani seorang pemandu. Mba Fafa mengantar dan menjelaskan dengan bersemangat bersama pengunjung yang sangat berminat, sehingga terjadi interaksi yang menarik. Ini bukanlah kunjuangan sia-sia. Pemandu yang komunikatif, pengunjung yang aktif. Lagi-lagi liburan yang hebat.

Ruang ke ruang kami diajak untuk mengenal dan menyelam lebih jauh budaya dan sejarah Jawa. Awalnya saya menganggap segala macam symbol yang ada dalam kehidupan keraton hanya tetek bengek ritual iseng yang dibikin ribet. Itulah kesalahanku (mungkin juga system dan pola pendidikan) bahwa banyak hal dipahami dari ritualnya bukan esensinya.

Sepanajang ruangan tour terdapat bunga-bunga tanpa kemenyan dalam loyang-loyang kecil. Meskipun museum ini tentang kerajaan mataram ternyata ini bukan semacam ritual dengan sesajen kembang 7 rupa yang sering di dengar di televisi atau film terror (terror untuk pikiran yang menyebabkan salah pemahaman tentang budaya sendiri). Bunga-bunga harum tersebut adalah pengharum ruangan alami. Tujuannya agar udara menjadi segar dan koleksi museum tidak rusak karena bunga tidak menyipan zat berbahaya seperti yang terdapat pada pewangi pabrikan. Ini bukan hal baru tapi sering dilupakan. Coba dibuat lupa lebih tepatnya.

Koleksi-koleksi banyak menceritakan tentang perempuan dalam keraton. Sesuatu yang jarang didengar karena kebanyakan para laki-lakilah yang banyak disebut sedangakan para perempuan pendukung yang berada di belakangnya hanya dianggap sebagai figuran. Founding father bangsa ini sering di sebut-sebut tapi istilah ‘founding mother’ saja tidak ada.

Museum tersebut menggambarkan bahwa pendidikan keraton terhadap perempuan yang seringkali tampak kaku dan banyak aturan ternyata tak berarti bahwa perempuan keraton hanya melakukan apa yang digembar-gemborkan sebagai budaya khusus Jawa. Budaya Jawa bisa dilakukan beriringan dengan budaya lain. Perempuan keraton bisa saja bermain piano dengan mengenakan kebaya dan kain batik.  Bisa juga memakai kain batik, baju kebaya dan mantel bulu serta selop dari brand terkenal, atau memakai kalung panjang yang bandul dari bulu burung flamingo. Sungguh tidak sekaku yang dikira sebelumnya. Ini adalah hal baru bagi saya.

Lukisan yang paling teringat adalah lukisan mangkunegaran (raja dari Solo) dengan seluruh abdi perempuan yang membawa berbagai pusaka kerajaan. Lukisan yang di cover dengan kaca 3 dimensi tersebut membuat gambar Mangkunegaran seolah mengikuti arah penontonnya, sedangkan lukisan 3 dimensi seorang putri di ruang yang sama matanya terlihat terus-terusan mengawasi pengunjung.

Pusaka sendiri adalah perlambang sifat-sifat yang dimiliki manusia dalam kehidupan. Bukan sekedar jimat supaya sakti mandraguna seperti yang kebanyakan di dengar. Jika seseorang memelihara pusaka yang baik-baik (memelihara sifat baik) maka baiklah ia, jika ia memelihara pusaka yang sebaliknya maka begitulah ia. Maka dalam cerita-cerita ketika seseorang memiliki pusaka tertentu ia menjadi bertambah kesaktiannya ternyata secara simbolis berarti sifat-sifat seperti digambarkan dalam pusaka tersebut mengambarkan kualitas kepribadian pemiliknya.

Satu lagi koleksi yang berkesan adalah foto Soekarno saat dilantik menjadi presiden Republik Indonesia Serikat di Siti Hinggil keraton Yogyakarta 15 Agustus 1950. Beberapa hari sebelumnya saya membaca catatan pinggir Goenawan Muhamad di blognya yang mendeskripsikan pakaian Soekarno dan Fatmawati. Saya merasa takjub dengan foto hitam putih yang kemudian mengundang ingatan saya tentang pendeskripsian GM akan keadaan di siti hinggil waktu itu.

Belum sempat mengamati dan menikmati koleksi demi koleksi pengunjung segera di gerak pada koleksi berikutnya. Batik, lukisan, patung, puisi, foto semuanya terasa berlalu begitu cepat. Bagaimanapun museum ini mengajak semuanya untuk menililik kembali pada budaya kita. Local wisdom bukanlah jargon. Local wisdom adalah segala yang dipunya dari segala yang telah di sintesis bangsa ini, dan museum adalah adalah sarana mengenal lebih dekat kearifan local tersebut.

Sesi foto di taman terasa berlalu begitu cepat.

Lain kali bolehkah saya seorang diri di ruang display menapaki koleksi demi koleksi, membacai setiap deskripsi. Karena rasanya begitu banyak yang tak saya ketahui dari bangsa ini. Karena sepertinya saya butuh lebih banyak culture understanding reconstruction.

Cara terbaik memelihara budaya adalah dengan memahami budaya itu sendiri.

Selesai berkeliling di Ullen Sentalu lagi-lagi mengisi perut dengan sate kelinci yang lapaknya bertebaran di daerah Kaliurang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar