Tiba di museum Ullen Sentalu.
Udara sejuk dan langit yang cerah, ditemani merapi selama perjalanan. Meski
merapi bisa ganas tapi dia tetap selalu menggoda untuk dilihat dan diketahui,
kami pun masih menyimpan impian untuk bisa mendaki hingga puncak, mendekatinya
dan bersahabat saat ia sedang tenang.
Setelah beberapa kali salah jalan dan bertanya
orang akhirnya ketemu juga lokasi museum Ullen Sentalu.
Terawat. Itulah kesan yang
pertama muncul saat berada di depan museum itu. Hijau dan sejuk. Pohon tertata
rapi dan bersih. Akar pohon semacam beringin berjuluran di depan pintu masuk.
Setelah mendapatkan tiket seharga
Rp. 25.000 per orang. Pengunjung yang dibentuk dalam kelompok berkeliling
ditemani seorang pemandu. Mba Fafa mengantar dan menjelaskan dengan bersemangat
bersama pengunjung yang sangat berminat, sehingga terjadi interaksi yang
menarik. Ini bukanlah kunjuangan sia-sia. Pemandu yang komunikatif, pengunjung
yang aktif. Lagi-lagi liburan yang hebat.
Ruang ke ruang kami diajak untuk
mengenal dan menyelam lebih jauh budaya dan sejarah Jawa. Awalnya saya
menganggap segala macam symbol yang ada dalam kehidupan keraton hanya tetek
bengek ritual iseng yang dibikin ribet. Itulah kesalahanku (mungkin juga system
dan pola pendidikan) bahwa banyak hal dipahami dari ritualnya bukan esensinya.
Sepanajang ruangan tour terdapat
bunga-bunga tanpa kemenyan dalam loyang-loyang kecil. Meskipun museum ini
tentang kerajaan mataram ternyata ini bukan semacam ritual dengan sesajen kembang
7 rupa yang sering di dengar di televisi atau film terror (terror untuk pikiran
yang menyebabkan salah pemahaman tentang budaya sendiri). Bunga-bunga harum
tersebut adalah pengharum ruangan alami. Tujuannya agar udara menjadi segar dan
koleksi museum tidak rusak karena bunga tidak menyipan zat berbahaya seperti
yang terdapat pada pewangi pabrikan. Ini bukan hal baru tapi sering dilupakan.
Coba dibuat lupa lebih tepatnya.
Koleksi-koleksi banyak
menceritakan tentang perempuan dalam keraton. Sesuatu yang jarang didengar
karena kebanyakan para laki-lakilah yang banyak disebut sedangakan para
perempuan pendukung yang berada di belakangnya hanya dianggap sebagai figuran.
Founding father bangsa ini sering di sebut-sebut tapi istilah ‘founding mother’
saja tidak ada.
Museum tersebut menggambarkan
bahwa pendidikan keraton terhadap perempuan yang seringkali tampak kaku dan
banyak aturan ternyata tak berarti bahwa perempuan keraton hanya melakukan apa
yang digembar-gemborkan sebagai budaya khusus Jawa. Budaya Jawa bisa dilakukan
beriringan dengan budaya lain. Perempuan keraton bisa saja bermain piano dengan
mengenakan kebaya dan kain batik. Bisa
juga memakai kain batik, baju kebaya dan mantel bulu serta selop dari brand
terkenal, atau memakai kalung panjang yang bandul dari bulu burung flamingo.
Sungguh tidak sekaku yang dikira sebelumnya. Ini adalah hal baru bagi saya.
Lukisan yang paling teringat
adalah lukisan mangkunegaran (raja dari Solo) dengan seluruh abdi perempuan
yang membawa berbagai pusaka kerajaan. Lukisan yang di cover dengan kaca 3
dimensi tersebut membuat gambar Mangkunegaran seolah mengikuti arah
penontonnya, sedangkan lukisan 3 dimensi seorang putri di ruang yang sama
matanya terlihat terus-terusan mengawasi pengunjung.
Pusaka sendiri adalah perlambang
sifat-sifat yang dimiliki manusia dalam kehidupan. Bukan sekedar jimat supaya
sakti mandraguna seperti yang kebanyakan di dengar. Jika seseorang memelihara
pusaka yang baik-baik (memelihara sifat baik) maka baiklah ia, jika ia
memelihara pusaka yang sebaliknya maka begitulah ia. Maka dalam cerita-cerita
ketika seseorang memiliki pusaka tertentu ia menjadi bertambah kesaktiannya
ternyata secara simbolis berarti sifat-sifat seperti digambarkan dalam pusaka
tersebut mengambarkan kualitas kepribadian pemiliknya.
Satu lagi koleksi yang berkesan
adalah foto Soekarno saat dilantik menjadi presiden Republik Indonesia Serikat
di Siti Hinggil keraton Yogyakarta 15 Agustus 1950. Beberapa hari sebelumnya
saya membaca catatan pinggir Goenawan Muhamad di blognya yang mendeskripsikan
pakaian Soekarno dan Fatmawati. Saya merasa takjub dengan foto hitam putih yang
kemudian mengundang ingatan saya tentang pendeskripsian GM akan keadaan di siti
hinggil waktu itu.
Belum sempat mengamati dan
menikmati koleksi demi koleksi pengunjung segera di gerak pada koleksi
berikutnya. Batik, lukisan, patung, puisi, foto semuanya terasa berlalu begitu
cepat. Bagaimanapun museum ini mengajak semuanya untuk menililik kembali pada
budaya kita. Local wisdom bukanlah
jargon. Local wisdom adalah segala yang dipunya dari segala yang telah di
sintesis bangsa ini, dan museum adalah adalah sarana mengenal lebih dekat
kearifan local tersebut.
Sesi foto di taman terasa berlalu
begitu cepat.
Lain kali bolehkah saya seorang
diri di ruang display menapaki koleksi demi koleksi, membacai setiap deskripsi.
Karena rasanya begitu banyak yang tak saya ketahui dari bangsa ini. Karena
sepertinya saya butuh lebih banyak culture
understanding reconstruction.
Cara terbaik memelihara budaya
adalah dengan memahami budaya itu sendiri.
Selesai berkeliling di Ullen Sentalu lagi-lagi mengisi perut dengan sate kelinci yang lapaknya bertebaran di daerah Kaliurang.