Senin, Oktober 12, 2009
Cinta Bersemi di Ladang Pembantaian
“Dunia ini adalah tempat yang berbahaya untuk ditinggali, bukan karena banyaknya kriminalitas yang terjadi, tetapi karena lebih banyak orang yang membiarkan kejahatan terjadi….”(Albert Einstein )
Kisah ini dimulai oleh kehadiran dr. Ang Swee sebagai seorang kristen fundamentalis. Awalnya Chai mendukung Israel, selain karena lingkungan keagamaanya mendorongnya demikian, media internasional mengesankan orang arab sebagai teroris. Akan tetapi serangan brutal Israel ke Beirut mendorongnya menjadi sukarelawan ahli bedah di kamp pengungsi Palestina dan membuatnya sadar akan kekeliruannya tersebut.
Pengusiran warga palestina dari negaranya sendiri oleh Israel telah terjadi pada tahun 1948. Mereka berlarian ke seluruh dunia dan yang tetap bertahan mendapat siksaan tak terperikan. Namun setelah beberapa dasarwarsa Israel menduduki tanah palestina dan mengganti namanya menjadi Israel yang mereka klaim sebagi ‘tanah yang dijanjikan Tuhan’ warga palestina yang berada di pengasingan tetap tak bisa tenang, serangkaian penculikan, pembunuhan, bahkan pembantaian masih terjadi hingga kini. Kamp-kamp pengungsi palestina biasa menjadi ladang uji coba sekaligus praktek senjata-senjata pemusnah paling mutakhir.
Dr. Ang adalah saksi hidup dari pembantaian Sabra-Sathila yang terjadi hanya sebulan, setelah ia tinggal dan bertugas di kamp tersebut. Saat itu perdamaian mulai didengungkan kembali, para penduduk menyerahkan senjata yang mereka miliki dan mulai membangun rumah-rumah mereka yang hancur, sehingga pembantaian terjadi tanpa perlawanan sama sekali. Dalam waktu kurang dari sepekan lebih dari 2400 jiwa melayang, dan sebagian besar bangunan musnah oleh berbagai peledak. Serangan tersebut hampir seluruhnya mengenai warga sipil. Setalah pembantain besar-besaran dilakukan, bangunan-bangunan yang masih berdiri diratakan dengan buldoser dan laki-laki dewasa yang selamat diculik dan tidak diketahui lagi nasibnya.
Palestina saat ini adalah salah satu contoh ladang pembantaian pasca perang dunia II. Gambaran dari suatu bangsa yang selama beberapa dekade sejak tahun 1948 tidak dianggap ada dan coba dimusnahkan, namun akhirnya membuktikan eksistensinya, walupun dengan pengorbanan yang besar. Sebuah eksistensi yang dibangun dengan pengorbanan puluhan, bahkan ratusan ribu nyawa, dibangun di atas kekhawatiran dan kesedihan para orang tua yang mau tidak mau harus melahirkan anak-anak mereka dalam penderitaan, demi mewariskan tongkat perjuangan dari para pendahulunya.
Buku ini bukan berisi filosofi tentang cinta, tapi hanya membeberkan fakta-fakta untuk kita nilai dan kita telaah sendiri. Tulisan ini berisi kisah pengabdian dr. Ang Swee Chai selama menjadi relawan di kamp pengungsian Palestina dan usahanya dalam membantu mereka selama 6 tahun, dari 1982-1988. Sebuah kesaksian yang sangat personal tetang pembantaian manusia yang benar-benar mengiris hati. Caranya menggambarkan menjadikan peristiwa tersebut seolah-olah baru terjadi kemarin. Tentang orang-orang yang terbuang dari tanah airnya tanpa harapan bisa kembali. Tentang tangisan dan jeritan pengungsi Palestina untuk bisa hidup damai dan kembali ke tanah airnya. Semburat harapan untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarga yang masih tersisa setelah bercerai-berai selama puluhan tahun.
Sebuah fakta dari relawan yang ada di sana, membuktikan bahwa seseorang tidak harus mejadi seorang muslim, nasrani, hindu, atau bahkan atheis untuk dapat melihat kebenaran, dibawah tekanan pers barat yang seakan menghalangi pemberitaan tentang fakta-fakta pembantaian di timur tengah. Mereka hanya menjadi manusia dan membuka mata dan hatinya untuk mengetahui kebenaran.
Betapa pun besar arti pers dalam menyiarkan berita ke seluruh dunia, namun kemampuannya dalam membentuk opini publik telah dimanfaatkan oleh tangan-tangan yang berkuasa atas modal dan pengaruh, sehingga menempatkan suatu pihak – dalam hal ini bangsa Palestina – pada posisi terpojok dan menjadi korban ketidakadilan yang besar. Pers telah membantu menyiarkan kabar tentang pembantaian yang berlangsung di seluruh dunia, namun pers lebih banyak menyembunyikan. Dalam hal ini pers telah membentuk opini publik selama bertahun-tahun terhadap terciptanya sentimen terhadap orang-orang Arab. Sehingga seolah-olah mereka semua adalah pembuat onar yang tidak pantas untuk ditolong.
Sejak tahun 1982 telah dibentuk komisi untuk mengadili tindakan Israel terhadap para pengungsi tersebut, namun hingga kini tidak ada hasilnya. Bahkan serangan mereka yang secara gamblang melanggar konvensi jenewa, tidak mendapat pengadilan yang selayaknya. Benteng dari negara-negara adikuasa dapat meloloskan Israel dari tuduhan sebagai penjahat perang, sekaligus menjadi penyebab terus berlangsungnya konflik di timur tengah, karena ketidakkonsistenan mereka dalam memperjuangkan perdamaian.
Seharusnya bangsa Indonesia belajar dari orang-orang Palestina dan mulai membenahi diri sebelum akhirnya bangsa ini benar-benar dikuasai dan dimiliki oleh bangsa lain, sebelum kita menjadi orang yang numpang di negeri sendiri. Sebelum orang-orang di negeri ini menjadi seperti mereka, yang beridentitaskan kartu-kartu pengungsi namun tak diizinkan untuk kembali. Seharusnya kita belajar melalui mereka yang selalu belajar dari kesalahan, mereka yang terbuang dan terkatung-katung tanpa adanya sebuah institusi yang melindungi mereka yang disebut negara.
Pernah diterbitkan di Majalah Cakrawala Edisi XV.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar