Catatan seorang siswa sekaligus guru -yang tidak konsisten.
(Yogyakarta, 25 November 2011)
copiyan.wordpress.com |
Guru itu memang pahlawan, tapi saya tidak akan mempahlawankan orang-orang yang hanya menunggu saat-saat gajian.
Berapa banyak orang yang benar-benar ingin menjadi guru? Berapa banyak pula orang yang menjadi guru hanya karena alasan keterbatasan lapangan kerja yang diharapkan, dan berapa banyak guru yang sebenarnya tidak tahu apa yang dia inginkan. Berapa banyak yang memegang profesi ini hanya sebagai sampingan (terutama yang sudah PNS) tidak menjalani dengan hati dan jiwa tapi juga tidak mau melepaskan, karena sayang akan penghasilan tetapnya atau juga statusnya.
Ada guru yang hidupnya sederhana dan bersahaja, penghasilan tidak seberapa tapi senantiasa mendidik, ada guru yang tidak senang menggurui, ada guru yang sama sekali tidak berstatus guru. Apapun keadannya guru itu mutlak diperlukan.
Profesi guru itu seperti jabatan presiden. Tidak berhenti saat jam kerja selesai atau keluar dari sekolah, tapi melekat terus menerus, saat di sekolah maupun di luar sekolah. Ia diperhatikan, dicontoh, digosipkan saat punya skandal, dicemooh saat ada yang tak puas dengan keputusannya, bahkan menjadi bahan ejekan siswanya. Guru diwajibkan menguasai materi bidangnya, ia juga diwajibkan memahami keadaan siswanya, ia pun mesti berhadapan dengan wali siswanya, masih harus menghadapi keadaan dirinya sendiri juga egonya. Jika ada profesi dengan tuntutan sangat tinggi itu adalah guru. Ditambah lagi ia juga mesti menerima bahwa gajinya sama sekali tidak berbanding lurus dengan tuntutannya.
Tantangan menjadi guru sekarang semakin besar. Trend orang tua sekarang lebih senang bekerja menghasilkan banyak uang untuk membuang anaknya ke sekolahan supaya diurus orang lain. Kalo anaknya tidak seperti yang mereka harapkan mereka menyalahkan orang-orang di sekolah, dan pertama-tama yang disalahkan tak bukan adalah guru. Saat anak-anak berbicara dengan bahasa tulis yang 4L4y maka yang dikatakan gagal mendidik adalah guru bahasa Indonesia. Ketika seorang menghina suku lain atau bisa dikatakan tidak memiliki wawasan kebinekaan maka guru kewarganegaraan yang dinyatakan gagal menanamkan dalam jiwa muridnya. Ketika guru matematika memberikan pekerjaan rumah berlebihan sehingga muridnya stress yang disalahkan adalah guru.
Guru di Masa kini
Era teknologi informasi ini menurut saya peran guru lebih baik ditekankan pada sisi kemanusiaan dengan penekanan pada transfer of understanding daripada sekedar transfer of knowledge seperti yang biasa terjadi. Para siswa kini bisa mencari bahan dan informasi yang mereka butuhkan dan mereka sukai di internet. Dalam hal sains komputer bisa berperan sangat baik, tapi soal kehidupan hanya manusia sendiri yang tahu.
Situasi sekarang dengan semakin menurunnya kualitas interaksi sosial kurikulum berbasis kemanusiaan jauh lebih diperlukan. Daripada mencetak beberapa siswa dengan prestasi dunia sedangkan puluhan siswa lain yang mecoba -dan beberapa berhasil- bunuh diri karena tidak kuat menghadapi tekanan sosial. Suatu bangsa dibentuk oleh kepribadian rakyatnya bukan oleh piala dan piagam yang dikoleksinya.
Kurikulum semacam ini menyederhanakan tugas guru tetapi sekaligus memperberat. Guru bisa fokus pada kematangan kepribadian siswa, sehingga siswa pun tidak terlalu tertekan dengan tuntutan materi, di sisi lain guru harus bisa tampil sebagai teman sekaligus teladan bagi siswa-siswanya. ia lebih bertindak sebagai konselor yang membantu siswa menyadari diri dan kehidupannya daripada sekedar kamus ilmiah tempat siswanya mencari tahu soal pelajaran.
Tanpa dukungan kurikulum dan sistem pendidikan guru macam ini akan menjadi 'musuh' para siswa maupun sekolah. Hal semacam ini saya sadari saat berada di SMP dan SMA. Saat SMP pak Bamabang Arif guru sejarah ingin meceritakan bagaimana suatu peristiwa itu menjadi bersejarah, para siswa sangat tertarik tapi yang dibutuhkan sekolah hanya siswa-siswa yang mampu menjawab soal ujian, tanggal berapakah peristiwa Rengasdengklok terjadi, dimanakah penyusunan naskah teks proklamasi dilaksanakan, dan hal-hal semacam itu.
Saat SMA guru bahasa Indonesia, bu Kusrini, senang mengajak siswa mengalisis bacaan dan menyerap pesan moralnya, tapi yang dipikirkan siswa hanyalah bagaimana menghadapi soal ujian.
Saya yakin bahwa guru yang memiliki misi kemanusian masih sangat banyak meskipun berita-berita tentang guru yang tidak bermoral jauh lebih gencar.
Suatu saat saat akan menjadi orang tua, dan saya akan menitipkan anak-anak saya pada kalian, juga anak-anak yang lain. Hari ini, esok dan seterusnya kualitas bangsa ini kalian yang hasilkan. Selamat hari guru yang telat sehari. Tak perlu jaya di laut, darat, atau udara, tak perlu daftar piagam atau tanda jasa, muridmu yang akan tahu dan menilai seberapa baik engkau menjadi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar