Percayalah kepedihan takkan menjadi klise lagi jika engkau berhadapan secara langsung.
Kesan yang pertama-tama muncul saat awal-awal datang ke sekolah dasar itu Agustus 2010 lalu adalah agresivitasnya tinggi. Orang-orang menakut-nakuti bahwa itu bahwa sekolah itu isinya anak-anak nakal.
Seminggu observasi menguatkan dugaan itu. Kekerasan fisik, verbal, bahkan emosional sering mereka alami. Tidak semuanya memang tapi begitu banyak cerita pilu di sana. Bukan sebuah sekolah dipedalaman yang anak-anaknya mesti berjalan berkilo-kilo meter, atau sekolah dengan keterbatasan guru dan fasilitas. Ini sungguh bukan laskar pelangi. Tapi ini sekolah dari anak-anak yang orang tuanya terpinggirkan secara ekonomi.
Agresivitas tak lagi milik siswa semata, ada guru dan penjaga sekolah yang tidak lagi sabar menahan diri sehingga tendangan atau tempeleng menjadi biasa. Anak-anak tak tahu mengapa mereka juga beberapa guru cenderung berteriak atau menggunakan tangan ketika berhadapan. Mereka hanya anak-anak. Mereka senang bermian. Mereka mengikuti apa yang lingkungan tunjukan pada mereka.
Ini adalah sekolah dengan gedung yang cukup bagus, dengan fasilitas perpustakaan, ada satpam, guru olahraga, dan guru agama. Namun apa yang mereka alami berasal dari rumah dan lingkungan. Anak-anak yang butuh belaian kasih sayang, butuh perhatian, ingin didengarkan. Sebagian dari mereka telah kehilangan sosok orangtua sejak dini, atau walaupun orang tua mereka ada orangtua tersebut tidak pernah benar-benar hadir untuk menyeka air matanya saat menangis, apalagi mendengarkan mereka merengek minta mainan.
Apa yang bisa kulakukan. Saat itu aku hanyalah mahasiswa manja. Memiliki tingkat ketergantungan kronis kepada orang tua. Sedangkan yang dihadapai di sana bukan lagi angka-angka statistik maupun teori-teori di buku teks apalagi cerita dari mulut ke mulut. Mereka adalah anak-anak yang nyata, mereka manusia, mereka perlu cinta. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku benar-benar tak tahu apa yang mesti kulakukan.
Saat kulihat hasil tes psikologis beberapa diantara mereka, "Ini cewek 17 tahun sedang menangis," kata anak itu. Aku bertanya kenapa, dan ia tak bisa menjawab. Begitu pahitkah kesedihan sampai-sampai seorang anak 9 tahun pun tak dapat lagi memberikan alasan real mengapa kakaknya menangis."Yang ini aku sedang menunggu ibu," dan aku harus menahan diri untuk tidak menitikan air mata di hadapannya.
Hasil rata-rata tes menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan sosial yang rendah, cenderung mudah panik dan stres, sehingga mereka juga cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Ketenangan disalurkan dari kata-kata lembut dan belaian, sesuatu yang diantara mereka tidak dapatkan dari siapapun. Tikus yang dibelai saat masa kanaknya pun memiliki toleransi stress yang tinggi, tidak mudah panik maupun agrasive, dan cepat beradaptasi, tapi anak-anak manusia ini tak mendapat pelakuan sesuai hasil peneltian tikus-tikus tersebut.
Cerita-cerita kadang mengalir tanpa ekspresi sedih lagi. Menjadi sesuatu yang biasa. Seorang anak yang mesti berbagi cinta dengan empat atau lima saudaranya yang semuanya berbeda ayah. Seorang anak yang menjadi keterbelakangan mental karena selalu diberi obat tidur oleh ayahnya agar tak bangun sebelum sang ayah pulang narik becak. Atau ibu yang stres karena selama ia memburuh jadi asisten rumah tangga anaknya diberi uang oleh kakeknya untuk mengoleksi pedang, pisau dan berbagai senjata tajam lainnya.
Kini saat kubuka lagi lembar demi lembar hasil tes aku semakin terpukul dengan kenyataan bahwa dulu aku tidak tahu yang mesti kulakukan, dan tidak menghasilkan apa-apa selain nilai praktek. Seandainya kesempatan untuk menghadapinya datang lagi apa aku bisa, sedangkan dulu aku hanya berusaha menghindar, bukan berusaha menghadapinya hingga selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar