Saya sungguh kesilitan menempatkan perpektif saya dalam tulisan ini, apalagi saat memilih judulnya.
Beberapa hari lalu dalam perjalan ke Bantul untuk servis kamera saya berpapasan dengan seorang ibu. Pakainnya lusuh, di punggungnya ia memanggul karung, sepertinya pemulung, di belakangnya seorang anak kecil bertopi dan sendal yang kebesaran berusia sekitar 3 tahun berlari-lari untuk mengimbangi langkahnya. Hari itu jogja sedang dijerang panas, di bawah matahari kulit mereka terlihat semakin legam. Perasaan saya pun semakin tertohok saat melewatinya dan dilehernya menggantung kain dengan buntalan di dadanya berisi bayi.
Beberapa hari lalu dalam perjalan ke Bantul untuk servis kamera saya berpapasan dengan seorang ibu. Pakainnya lusuh, di punggungnya ia memanggul karung, sepertinya pemulung, di belakangnya seorang anak kecil bertopi dan sendal yang kebesaran berusia sekitar 3 tahun berlari-lari untuk mengimbangi langkahnya. Hari itu jogja sedang dijerang panas, di bawah matahari kulit mereka terlihat semakin legam. Perasaan saya pun semakin tertohok saat melewatinya dan dilehernya menggantung kain dengan buntalan di dadanya berisi bayi.
Pertanyaan yang kemudian muncul dalam otak saya adalah bantuan apa yang dapat diberikan. Bahkan sampai hari ini saya tidak tahu apa yang dapat saya lakukan.
Kejadian serupa sebenarnya sering terjadi, tapi saya tidak kunjung menemukan cara untuk membantu mereka. Karena itu seringkali lebih sering mengabaikan penglihatan saya itu, dan membiasakan diri dengan kemiskinan pikiran saya.
Orang-orang tua yang memenuhi sepedanya dengan muatan gerabah lalu mendorong dari tempat pembuatan gerabah di Kasongan ke pasar-pasar tradisional, Giwangan, Gamping, Godean, Beringharjo, dan pasar-pasar kecil lainnya. Mereka berangkat pukul 3 pagi secara bergerombol. kakek-kakeknya biasanya masih dengan kalung sarung dan nenek-neneknya tetap memakai kain. Sendal jepit diselipkan diantara barang dagangannya, entah kapan akan dipakai.
Pemandangan semacam itu yang membuat saya seringkali sinis terhadap peminta-minta dan para pengamen yang tidak (ingin) menghibur. Karena itu sering kali saya memberi karena tidak ingin berurusan bukan karena ingin membantu apalagi karena tersentuh. Mereka yang lain bercucuran keringat mengais gelas plastik sambil menjaga dua orang anak kecil sekaligus, ada yang mendorong sepeda sarat gerabah dari kasongan hingga pasar Sentolo (arah Jogja Kulonprogo), ada yang berjalan kaki dari perbukitan arah Panggang untuk berjualan peyek jingking di pantai Parangtritis, ada pula yang menjadi kuli gendong pasar Beringharjo di pagi buta, petani yang selalu dipermainkan oleh harga pupuk dan hasil panen, dan para pekerja keras lainnya yang tak tersebut dan tak saya tahu.
Hal itu pula yang membuat saya berdebat dengan seorang peminta-minta yang minta tambahan uang (alasannya) untuk beli nasi padang, atau penolakan saya terhadap permintaan sumbangan seorang nenek-nenek yang membawa proposal pembangunan masjid yang sudah sangat lusuh, sehingga nenek itu marah dan ngomel-ngomel.
Ini sama sekali bukan masalah nominal. Hanya saja peduli tidak berarti memberi. Islam tidak mengajarkan mengemis, dan untuk apa melakukan perbuatan yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Jika tiap peminta-minta diberi maka penghasilannya akan lebih besar dari pegawai negri, bayangkan berapa banyak yang tergiur untuk alih profesi. Berapa penurunan produktifitas yang dialami negeri ini. Berapa perpanjangan waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan negri ini jika orang-orangnya lebih banyak yang berprofesi menjadi peminta-minta.
Saya beberapa kali menemukan peminta-minta yang benar-benar membutuhkan bantuan, tapi sekali lagi itu hanya beberapa dibandingkan dengan keseluruhan semua yang pernah saya jumpai. Seorang ibu dengan anaknya yang menderita hidrocepalus di depan Ramai Mall, karena mungkin keterbatasan pendidikannya ia tak tahu bahwa anaknya bisa mendapat penanganan gratis. Bukan pengemis di jalan solo yang punya rumah dan motor 3, atau ibu-ibu yang berangkat mengemis diantar dengan Jupiter Z merah baru.
Saya sangat hargai bapak penjual makanan keliling di Malioboro yang dengan untungnya yang tidak seberapa memaksa mengupah saya dengan es teh karena membacakan koran di rubrik olahraga di sela-sela waktu istirahatnya. Semoga mereka, para pekerja keras itu masih selalu punya cara dan pikiran sendiri untuk tidak menengadahkan tangan kepada orang lain. Semoga engkau punya tempat yang istimewa dalam pandangan manusia maupun Tuhan.
Saya beberapa kali menemukan peminta-minta yang benar-benar membutuhkan bantuan, tapi sekali lagi itu hanya beberapa dibandingkan dengan keseluruhan semua yang pernah saya jumpai. Seorang ibu dengan anaknya yang menderita hidrocepalus di depan Ramai Mall, karena mungkin keterbatasan pendidikannya ia tak tahu bahwa anaknya bisa mendapat penanganan gratis. Bukan pengemis di jalan solo yang punya rumah dan motor 3, atau ibu-ibu yang berangkat mengemis diantar dengan Jupiter Z merah baru.
Saya sangat hargai bapak penjual makanan keliling di Malioboro yang dengan untungnya yang tidak seberapa memaksa mengupah saya dengan es teh karena membacakan koran di rubrik olahraga di sela-sela waktu istirahatnya. Semoga mereka, para pekerja keras itu masih selalu punya cara dan pikiran sendiri untuk tidak menengadahkan tangan kepada orang lain. Semoga engkau punya tempat yang istimewa dalam pandangan manusia maupun Tuhan.
Ah...bukannya saya nemu solusi malah nemunya makin banyak masalah. Tak mengapa, semoga pendalaman masalah menjadikan saya semakin dekat dengan solusi. Saya belajar, lebih tepatnya mengatasnamakan ketidakmampuan saya sebagai masa belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar